Senin, Juli 07, 2014

Perkembangan Kurikulum di Indonesia Pra-Kemerdekaan

Perkembangan Kurikulum - Berbicara perkembangan kurikulum di indonesia yang saat ini akan berakhir pada kurikulum KTSP, banyak pendapat dari kalangan para guru, dosen, mahasiswa bahkan masyarakat luas pun mencoba berikan pendapat, ada yang mengatakan bahwa kurikulum 1994 lebih baik dari pada KTSP, dan ada juga yang mengatakan kok kurikulum ini ganti ganti mulu ya? Untuk menjawab hal tersebut berikut situs Membumikan Pendidikan akan menjabarkan dinamika kurikulum di Indonesia.

Perkembangan kurikulum di indonesia dari periode sebelum tahun 1945 sampai yang sekarang ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang sering disebut KTSP. Selama proses pergantian Kurikulum tidak ada tujuan lain hanya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, rancangan pembelajaran yang ada di sekolah. Alangkah baiknya sahabat sahabat untuk lebih jelasnya membaca makalah Perkembangan kurikulum di indonesia yang ada di bawah ini.

Kurikulum di Indonesia

Kurikulum di Indonesia pada dasarnya terus berkembang mengikuti perkembangan zamannya. Sehingga perkembangan kurikulum di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa fase, yaitu Periode sebelum tahun 1945; Periode tahun 1945 sampai 1968; dan Periode tahun 1968 sampai 1999. Kalau tiga periode ini dijabarkan maka kurang efektif dan terlalu panjang. Maka, pada ulasan di bawah ini situs Membumikan Pendidikan hanya akan mengulas kurikulum pada periode sebelum tahun 1945 atau pra-kemerdekaan. Berikut ulasannya.

Perkembangan Kurikulum di Indonesia Pra-Kemerdekaan

Kurikulum Periode Sebelum tahun 1945

1. Kurikulum pada masa VOC

Kurikulum sekolah-sekolah selama VOC berkaitan erat dengan gereja. Menurut Hereen XVII,  badan tertinggi VOC di negeri Belanda yang terdiri atas 17 orang anggota, tahun 1617, gubernur di Indonesia harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan sekolah untuk tujuan itu. Menurut peraturan sekolah 1643 tugas guru adalah memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar agama Kristen, mengajak anak berdoa, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa, dan guru-guru.

Walaupun tak ada kurikulum yang ditentukan biasanya sekolah menyajikan pelajaran tentang agama, juga membaca, menulis dan menyanyi. Demikian pula tidak ditentukan lama belajar. Peraturan hanya menentukan bahwa anak pria lebih dari usia 16 tahun dan anak wanita lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kali dimulai pada tahun 1778. Di kelas 3, kelas terendah, anak-anak belajar abjad, di kelas 2 membaca, menulis, dan bernyanyi dan di kelas 1, kelas tertinggi: membaca, menulis, bernyanyi dan berhitung.

2. Kurikulum Sebelum 1892 (Sebelum Reorganisasi)

Sebelum 1892, Sekolah rendah tidak mempunyai kurikulum yang uniform, walaupun dalam peraturan 1871 ada petunjuk yang menentukan kegiatan sekolah. Ada 4 mata pelajaran yang diharuskan, yakni membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah dan bahasa Melayu), dan berhitung. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu. Adapun mengenai pelajaran agama, tidak diajarkan. Seperti halnya di Belanda pada masa liberal. Statuta 1874 menyatakan pengajaran agama dilarang di sekolah pemerintah, akan tetapi ruang kelas dapat digunakan untuk itu di luar jam pelajaran.

3. Kurikulum Setelah 1892 ( Setelah Reorganisasi)

Kurikulum sekolah ini, seperti ditentukan dalam peraturan 1893 terdiri atas pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin, membaca dan menulis dalam bahasa Melayu, berhitung, ilmu bumi Indonesia, ilmu alam, sejarah pulau tempat tinggal, menggambar dan mengukur tanah. Lama pelajaran diperpanjang dari 3 menjadi 5 kelas. Sekolah dibagi dalam 5 kelas yang terpisah sehingga sekolah ber-ruangan satu lambat laun lenyap.

Sekolah Kelas Satu tidak menjadi popular di kalangan Priyayi, karena tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Akhirnya, pada tahu 1907  bahasa Belanda dimasukkan ke dalam program Sekolah kelas Satu dan lama studi diperpanjang menjadi 6 tahun. Akan tetapi, perubahan itu tetap tidak menjadikan Sekolah Kelas Satu popular, ia tetap menjadi terminal tanpa kesempatan melanjutkan pelajaran. Kelemahannya jelas nampak bila dibandingkan dengan ELS (Europese Lagere School) dan HCS (Holland Chinese School).

Dirasakan adanya diskriminasi terhadap anak Indonesia karena anak-anak cina di HCS diberi pelajaran dalam bahasa Belanda selama 7 tahun. Barulah ketika tahun 1912 bahasa Belanda diajarkan mulai kelas 1 dan lama studi diperpanjang selama 7 tahun. Lambat laun Sekolah Kelas Satu menyamai sekolah-sekolah yang tersedia bagi golongan bangsa lain, akan tetapi masih mempunyai kelemahan karena tidak membuka kesempatan untuk melanjutkan pelajaran.

4. Kurikulum Sekolah Kelas Dua

Disebut Sekolah Kelas Dua karena orang-orang yang sekolah disana khusus sebagian kecil rakyat. Sekolah ini akan mempersiapkan berbagai ragam pegawai rendah untuk kantor pemerintah dan perusahaan swasta.  Disamping itu juga untuk mempersiapkan guru bagi Sekolah Desa.Sekolah ini  mempunyai kurikulum yang sangat sederhana dikarenakan sekolah ini pada mulanya untuk seluruh rakyat Indonesia walaupun dalam perkembangannya kemudian lebih spesifik lagi.  Program Sekolah Kelas Dua ini sama dengan program Sekolah kelas Satu kelas 1-3. Perlu diketahui, Re-organisasilah yang menyebabkan dua jenis sekolah ini, yaitu Sekolah Kelas Satu diperuntukkan bagi anak golongan atas dan Sekolah Kelas Dua untuk orang biasa.

5. Kurikulum VolkSchool

Kurikulum ini sangat sederhana. Kurikulum ini muncul seiring dengan kebutuhan rakyat yang pada saat itu banyak buta huruf dan tidak bisa berhitung. Akan tetapi, sekolah ini tetap saja dirasa tidak memenuhi keinginan murid untuk melanjutkan pelajarannya. Banyak anak-anak dari sekolah ini yang ingin dipindahkan ke Sekolah Kelas Dua. Pada akhirnya, sekolah desa ini menjadi sub-struktur dari Sekolah Kelas Dua dengan mengadakan perbaikan kurikulum Sekolah Desa.

6. Kurikulum ELS (Europese Lagere School)

Setelah Hindia Belanda diterima kembali dari tangan Inggris pada tahun 1816 oleh Komisaris Jendral, maka pendidikan ditanggapi secara lebih sungguh-sungguh. Akan tetapi, kegiatan mereka hanya terfokus pada anak-anak berdarah Belanda. Sekolah Belanda ini sejak mulanya dimaksudkan agar sama dengan Netherlands, walaupun terdapat perbedaan tentang muridnya, khususnya pada permulaannya.  Kurikulum terdiri atas pelajaran membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran agama ditiadakan. Pada tahun 1868 bahasa prancis diajarkan dan merupakan syarat untuk masuk ke sekolah Belanda.

7. Kurikulum HCS (Holland Chinese School)

HCS mempunyai dasar yang sama dengan ELS. Bahasa Perancis biasanya diajarkan pada sore hari seperti halnya dengan bahasa Inggris, yang sebenarnya tidak diberikan kepada ELS namun diajarkan berhubung dengan kepentingan bagi perdagangan. Kurikulum dan buku pelajarannya pun sama dengan ELS.

8. Kurikulum HIS (Holland Inlandse School)

Pendirian HIS pada prinsipnya dikarenakan keinginan yang kian menguat di kalangan orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan Barat. Kurikulum HIS seperti yang tercantum dalam Statuta 1914 Nomor 764 meliputi semua mata pelajaran. Lulusannya pun akhirnya bisa melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indisce Artsen, Sekolah “Dokter Djawa”) dan MULO. Selain itu mereka memasuki Sekolah Guru, Sekolah Normal, Sekolah Teknik, Sekolah Tukang, Sekolah Pertanian, Sekolah Menteri Ukur, dan lain-lain.

9. Kurikulum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

Dengan program yang diperluas, MULO merupakan sekolah pertama yang tidak mengikuti pola pendidikan Belanda. Namun, tetap berorientasi ada Barat dan tidak mencari penyesuaian dengan keadaan Indonesia. Programnya terdiri atas empat bahasa yakni, belanda, Perancis, Inggris dan Jerman. Kursus MULO ini dibuka pada tahun 1903. Kursus ini dimaksud sebagai sekolah rendah.

10. Kurikulum HBS (Hogere Burger School)

Kurikulum HBS di Indonesia tak sedikitpun berbeda dengan yang ada di negeri Belanda. Kurikulum ini dirasa mantap tanpa mengalami banyak perubahan. Apa yang diajarkan tampaknya universal. Bahannya pun dapat berubah disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun mata pelajarannya tetap sama. Siswa HBS harus mempunyai bakat yang tinggi dalam IPA, matematika, dan bahasa. Dan untuk pendidiknya, hanya mereka yang memperoleh gelar Ph.D (Doktor) atau diploma yang boleh mengajar. Dengan demikian ini dapat mencapai taraf yang sama dengan sekolah yang terdapat di Netherlands.

Demikian ulasan tentang Perkembangan Kurikulum di Indonesia Pra-Kemerdekaan. Untuk 2 fase selanjutnya akan dijabarkan pada postingan selanjutnya. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan sahabat-sahabat Membumikan Pendidikan mengenai perkembangan kurikulum di Negara kita Indonesia. 

Belum ada Komentar untuk "Perkembangan Kurikulum di Indonesia Pra-Kemerdekaan"

Posting Komentar

Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.

Advertisemen