Jumat, April 18, 2014

Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan

Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan - Tatanan kehidupan manusia yang didominasi oleh kaum laki-laki telah menjadi sejarah panjang. Sehingga kaum wanita ditempatkan sebagai “the second human being” (baca: manusia kelas dua) di bawah superioritas laki-laki. Tak heran, paradigm semacam itu menjadi landasan atas tindak marginalisasi dan memposisikan wanita dalam budaya kekerasan.

Secara garis besar, angka partisipasi wanita dalam tindak kriminalitas adalah kecil dibandingkan dengan angka partisipasi laki-laki. Saat inipun, banyak wanita yang lebih diterima dalam posisi public. Missal dalam bidang hokum, kepolisian, kemasyarakatan bahkan dalam bidang politik yang telah ditetapkan aturan perundang-undangannya.

Namun, frekuensi atau potensi wanita menjadi korban kekerasan seperti pemerkosaan, KDRT, dan incest masih sangat mengkhawatirkan. Sehingga perlu ada penguraian mengenai bagian kekuatan hokum yang memperkuat sistem budaya yang membenci atau merendahkan wanita (misogynist cultural system).
Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan

Sadis! Karena kasus pemerkosaan berjamaah kembali terjadi di India bagian tengah, kali ini korbannya adalah perempuan berkebangsaan Swiss yang digilir oleh 10 orang ketika sedang bersepeda dengan suaminya (jurnas, 14/03/2013), tidak hanya di India, dilansir Vois of Amerika (VOA.com), badan perlindungan perempuan Cina juga memperkirakan seperempat perempuan di Cina menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dari dua yang tersaji di atas menggambarkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi, tidak hanya di Indonesia melainkan di berbagai Negara. Hal tersebut menunjukkan tidak dihargainya hak-hak wanita untuk dapat hidup layak, bermartabat serta terjamin. Perempuan selalu dianggap lemah dan diperlakukan seenaknya yang merupakan gambaran dari budaya misogyny itu tersebut.

Dalam konteks ini, Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore mendefinisikan misogyny benar-benar sebagai kebencian terhadap wanita. Meskipun terasa ekstrim dipergunakan, setidaknya konsep ini membantu untuk mendeskripsikan keadaan tertekan yang dirasakan wanita.

Potret Wanita dalam Budaya KekerasanPada konteks kekinian, masih banyak didengar kasus-kasus di pengadilan yang memberi hukuman ringan bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan dengan dalih perempuan berpakaian yang merangsang. Akibat dari budaya kekerasan yang dilestarikan oleh sistem hukum atau peradilan yang buruk semacam ini menjadikan wanita hidup dalam tingkat ketakutan yang konstan.

Dalam hal ini, laki-laki tidak memiliki banyak pemahaman akan penderitaan wanita yang hidup dalam ketakutan. Laki-laki sering menunjukkan sikap meremehkan dan menganggap sepele hal tersebut. Bahkan terkadang sok menawarkan perlindungan terhadap wanita. Sikap tersebut menunjukkan bahwa ketakutan secara khas yang dialami wanita dianggap hal irasional dan tak berguna.

Dalam bukunya “Misogynies” Joan Smith menganalisis berbagai kasus pemerkosaan dan memaparkan bagaimana kejadian tersebut bersamaan dengan reaksi polisi dan pengadilan, mencerminkan sikap percaya terhadap budaya misogynist secara keseluruhan. Sehingga Joan berpendapat:

Diskriminasi terhadap perempuan bukanlah kebetulan historis, melainkan manifestasi dari budaya kebencian (misogyny) tersebut”.

Dengan begitu, secara positif kejahatan dan kekerasan terhadap wanita menjadi control bagi wanita untuk lebih berhati-hati dalam beraktivitas. Meskipun demikian, hal tersebut juga berimbas pada terbatasnya ruang gerak wanita dalam kehidupan social, berkarya dll. Yang tentunya menutup potensi wanita untuk turut serta dalam membangun peradaban dan tujuan bersama.

Oleh karena itu, institusi-institusi hokum seharusnya melakukan pembelaan dan penegasan keadilan untuk wanita yang selalu dijadikan korban atas kekerasan yang dilakukan laki-laki. Bukan malah memperkuat norma-norma kekuasaan patriarkis karena melindungi kapitalisme dan memperkuat nuansa ras, kelas dan prasangka-prasangka cultural. Mengapa dikatakan demikian? Karena, kenyataannya saat ini hokum berpihak kepada yang ber-uang dan hanya untuk memenuhi kepentingan kelas.

Kriminalitas terhadap perempuan saat ini kurang dianggap penting dan tidak begitu diperhatikan. Sikap dimana hukum menanggapi tuntutan-tuntutan baru atas persamaan, keadilan dan kebenaran tengah mengalami masa krisis. Wanita di bawah budaya patriarkis tidak memiliki otoritas dalam hukum yang menentukan ukuran sanksi bagi para pelaku kejahatan dan juga korban (baca: Sosiologi Wanita, 2002). Sehingga hak-hak wanita tidak bisa didapatkan secara mutlak.

Di dalam hak asasi manusia (HAM) terdapat beberapa prinsip, di antaranya adalah prinsip “Universal”. Prinsip ini berarti bahwa hak-hak tersebut dimiliki dan untuk dinikmati oleh semua manusia tanpa ada pembedaan apapun, seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, latar belakang bangsa, dan social. Dengan kata lain, hak asasi manusia adalah persamaan hak dan martabat semua manusia untuk dinikmati di manapun dan selama-lamanya.

Selain prinsip “Universal” juga diketahui adanya prinsip “Independensi Manusia” yang mengangkat makna kemerdekaan dalam hidup, maka sudah seharusnya perempuan mendapatkan hak yang sama di masyarakat. Namun dengan mengetahui prinsip-prinsip di atas saja tidak cukup untuk mengembalikan hak-hak perempuan. Maka sebab itu perlu adanya ketegasan hukum dan keadilan yang disertai dengan penetapan undang-undang mengenai hak-hak wanita secara penuh.




------------ S. Sudaryono 
(Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN), dan Korps HMI Wati (KOHATI) Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang)

Belum ada Komentar untuk "Potret Wanita dalam Budaya Kekerasan"

Posting Komentar

Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.

Advertisemen