Petani, Bukan Sekadar Profesi
Petani, Bukan Sekadar Profesi - Sering kita mendengar lirik lagu anak jalanan yang berjudul "Tanah Surga". Salah satu lirik lagu tersebut berbunyi, "Orang bilang tanah kita, tanah surga. Tapi hasil buminya entah kemana. Orang bilang tanah kita tanah subur, insinyur pertanian koq jual bubur". Berangkat dari lagu tersebut, dapat dikatakan bahwa lagu tersebut merupakan sindiran terhadap bangsa ini.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki bermacam-macam kekayaan alam. Kekayaan alam ini diharapkan mampu mengangkat perekonomian dalam negeri. Akan tetapi realitasnya, kekayaan alam ini justru dinikmati oleh investor-investor luar negeri. Hal ini berkontradiksi dengan teori hukum kausalitas. Negara yang memiliki kekayaan melimpah seharusnya dapat hidup berkecukupan, bukan hidup penuh kemelaratan.
Di kalangan penduduk dunia, Indonesia dikenal dengan negara agraris terbesar di dunia. Tapi apa kenyataannya? Tentunya hal ini berada di luar nalar. Negara ini oleh nenek moyang kita disebut dengan sebagai "Negara yang gemah ripah loh jinawi". Tapi andaikan mereka masih hidup sekarang, julukan yang pantas disematkan kepada negara ini adalah "Negara Kontradiksi".
Adanya kekontradiksian di negara ini semakin diperparah dengan adanya pengkastaan strata sosial. Sering kali petani dianggap sebagai kelas atau lapisan masyarakat yang paling bawah. Padahal jika dipandang dari signifikansi manfaatnya, petani adalah penunjang dari sektor industrial yang ada. Contoh konkretnya adalah, negara ini merupakan negara yang sebagian penduduknya mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sedangkan kita semua telah mengetahui bahwa nasi merupakan hasil karya dari para petani.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa II
Mengingat begitu signifikansinya peran petani, tak salah jika kita mengatakan bahwa profesi bukan sekedar profesi. Bahkan lebih dari itu, petani merupakan profesi yang paling mulia. Bagaimana tidak? Secara tidak langsung, petani merupakan sebuah profesi mulia yang mengajarkan beberapa nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai ini termaktub dalam beberapa hal antara lain nilai asketis, sabar, selalau berpandangan positif, dan syukur.
Pengajara nilai asketis ini menonjol pada pola kehidupan mereka. Rata-rata masyarakat kita berpola hidup sederhana. Kebanyakan dari mereka selalu menyimpan hasil buminya terlebih dahulu, bukan menjualnya langsung sehabis panen. Hal ini menunjukan bahwa mereka lebih mengedepankan kebutuhan dalam jangka panjang dari pada kebutuhan yang sifatnya hanya sesaat. Hal lain yang dapat beresensi terhadap nilai asketis adalah rela berkorban. Tak jarang para petani sering bertaruh terhadap Tuhan. Mereka sering membeli obat-obatan yang disebut-sebut dapat bermanfaat pada tanaman mereka, padahal mereka belum tahu apakah nantinya panen mereka setimpal dengan apa yang telah mereka korbankan.
Nilai pengajaran yang kedua yaitu sabar. Sudah kita ketahui bersama, menanam satu biji itu tak bisa langsung memanen hasilnya. Dibutuhkan waktu dan kesabaran untuk memanennya. Selain itu juga mereka harus bersiap-siap sabar terhadap apa yang akan diperolehnya saat panen. Terkadang panen yang diperoleh seorang petani belum sepadan dengan apa yang telah dikorbankannya. Apalagi sekarang obat-obatan pertanian harganya melambung tinggi. Bisa dibanyangkan betapa besar pengujian kesabaran petani terhadap tanamannya.
Nilai pengajaran yang ketiga yaitu berpandangan positif atau yang sering kita kenal dengan "positive thinking". Jika petani tidak memiliki sifat ini, mereka dapat dikatakan tidak akan bertani menanam benih-benih tanaman. Bayangkan saja, hasil yang mereka akan peroleh belum tentu sesuai dengan harapan mereka. Dengan sikap inilah, petani berani menantang pencipta alam bertaruh. Taruhannya pun tidak tanggung-tanggung, yaitu berhasil dalam panen ataukah gagal total.
Nilai pengajaran yang terakhir adalah penyematan sikap bersyukur. Setelah usai memanen tanamannya, petani tidak jarang mengadakan sedekah bumi ataupun sedekah laut. Sedekah ini dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas panen yang telah diperolehnya. Walaupun hasil panen yang diperolehnya berkontradiksi dengan apa yang telah dikorbankannya saat musim tanam.
Mengingat begitu banyaknya nilai yang termaktub dalam profesi petani, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi moralitas tak seharusnya jika kita menjustifikasi petani sebagai profesi yang rendah. Justru sebaliknya, petani dapat dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa jilid II setelah guru. Hal ini dikarenakan petani merupakan penyokong pertama dan utama dunia perindustrian dalam negeri.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, Petani bukan hanya sekedar profesi tapi juga tempat pendidikan kepribadian. Jadi dapat dikatakan bahwa bertani merupakan sekolah kepribadian bagi para petani. Ya, meski di dalamnya tidak mengenal yang namanya kurikulum, tapi disana diajarkan pembinaan kepribadian yang memiliki signifikansi besar.
”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH. Hasyim Asya'ari)
------------- M. Arif Rohman Hakim
(Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Walisongo Semarang)
Belum ada Komentar untuk "Petani, Bukan Sekadar Profesi"
Posting Komentar
Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.