Guru sebagai Intelektual Transformatif
Guru sebagai Intelektual Transformatif - Dalam sebuah artikelnya yang menarik, Anita Lie (Kompas, 26/2/2013) menyatakan bahwa kurikulum ibarat kendaraan dan guru adalah pengendaranya. Sebaik-baik kurikulum didesain, namun ketika pengendaranya tidak lihai, maka potensi untuk erjadi kecelakaan sangat besar; atau minimal kalau kendaraan tersebut memiliki potensi untuk dipacu sampai pada kecepatan 400 sampai 500 km/jam ia hanya dapat berjalan kisaran 60 km/jam. Oleh karena itu faktor guru menjadi penting dalam tiap perubahan kurikulum nasional. Belajar dari kekurangberhasilan implementasi KTSP selama ini, yakni disebabkan terutama oleh faktor guru yang kurang siap dan belum memiliki kemampuan dalam merumuskan kurikulum dengan baik, maka guru adalah faktor utama yang mesti diperbaiki kualitasnya. Terlepas dari konsep teacher centered maupun student centered ataupun kombinasi keduanya secara negosiatif, peran guru tidak dapat dipinggirkan.
Sedikit di awal tulisan ini kami sudah mengungkapkan konsep guru ideal adalah yang “siap” dengan segala hal, namun dalam konteks dan kondisi pendidikan seperti di Indonesia sekarang ini, dan juga potensi kurikulum nasional (kurikulum 2013) yang agaknya terlihat kembali tersentralisasi di tangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), maka apa yang dikemukakan oleh Sidharta Susila (Kompas, 7/3/2013) bahwa guru sekarang harus menjadi “guru yang mbeling” cukup menarik. Ujarnya sebagai berikut.
Mbeling dipilih demi memperjuangkan hal-hal yang prinsip. Pada mbeling sesungguhnya mensyaratkan kesadaran, kecerdasan, otentisitas, tanggung jawab, serta keberanian. Sikap mbeling sering kali dipilih bukan demi kepentingan diri semata. Sikap mbeling sering kali justru dipilih untuk memperjuangkan dan merawat kehidupan. Karena itu, mbeling sering kali menjadi ekspresi panggilan jiwa untuk memperjuangkan prinsip dan merawat kehidupan. Guru mbeling adalah guru yang sadar akan panggilan jiwanya sebagai pendidik. Guru mbeling sadar akan hal-hal yang membatasi kreativitas dan perjuangan mendidik dengan benar serta bertanggung jawab. Demi prinsip pendidikan, martabat, dan panggilan jiwanya sebagai pendidik, ia berani bersusah-susah dan memperjuangkan pembelajaran di luar kebiasaan.
Ia juga bercerita bagaimana Erin Gruwell dalam film Freedom Writers merumuskan konsep dan mempraktikkan desain pembelajaran di kelas di luar desain konvensional pembelajaran pada umumnya. Ia membuat desain pembelajaran berangkat dari latar psiko-sosial anak didiknya yang beragam, ia meramunya menjadi menu pembelajaran yang menarik, menyenangkan, sekaligus kritis dan humanis. Ada juga Mr. Kobayashi, kepala sekolah Tomoe Gakuen, tempat di mana si gadis kecil Toto Chan bersekolah dan mendapat pengalaman berharga yang ia ingat seumur hidupnya dan ia bagi kepada jutaan orang melalui novelnya yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul “Toto Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Minimal mereka berdua adalah gambaran guru mbeling sebagaimana dikemukakan oleh Sidharta Susila, yang tidak seperti tipikal guru kebanyakan lulusan kampus-kampus pendidikan kita di Indonesia.
Secara teoretik Henry Giorux (1997: 102) juga sudah mengemukakan konsep yang kira-kira senada dengan apa yang dinyatakan oleh Sidharta Susila, bahwa sudah seharusnya seorang guru adalah intelektual transformatif dan aktivitas guru adalah praktik intelektual. Konsep ini bertentangan dengan pandangan guru sebagai teknisi yang tugas utamanya adalah mengimplementasikan sesuatu yang sudah jadi ketimbang mengkonsepnya, di sinilah guru—dalam istilahnya Giroux—harus punya otoritas pembebasan (emancipatory authority). Dalam konteks pengembangan dan perubahan kurikulum: guru harus dapat membebaskan dari konsep-konsep guru konvensional sebagai teknisi atau operator kurikulum yang sudah jadi sebagai paket baku, sebaliknya guru harus membawa pengetahuan-pengetahuan kritis. Lebih jauh lagi guru harus mengarahkan praktik pembelajaran untuk tidak sekadar mencapai prestasi-prestasi akademik, melainkan menuju para transformasi sosial.
Bukan berarti kita mesti pesimis melihat kondisi guru di Indoesia, sejatinya juga banyak guru yang berjiwa mbeling, hanya saja mereka tidak diekspose oleh media massa, dan seringkali gerak perjuangannya terkendala oleh sistem pendidikan nasional yang justru bertentangan dengan tujuan fundamental dan hakikat pendidikan sejati. Pertanyaannya adalah: beranikah sekarang guru-guru di Indonesia dalam menghadapi kurikulum 2013 menjadi guru mbeling? Bagaimana cara untuk menjadi guru sebagai pengendara kurikulum yang hebat, menjadi guru mbeling, dan menjadi guru intelektual transformatif?
Belum ada Komentar untuk "Guru sebagai Intelektual Transformatif"
Posting Komentar
Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.