Guru yang Konselor (Sebuah Renungan untuk Guru)
Guru yang Konselor (Sebuah Renungan untuk Guru) - Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kemarin, mengingatkan kita pada tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro. Sang guru pencetus: Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Nilai filosofis yang terkandung dalam ketiga pernyataan itu sangat dalam. Meskipun akhirnya semua institusi pendidikan hanya menggunakan pernyataan yang paling belakang (tut wuri handayani). Tidak mengurangi esensi pendidikan di Indonesia. Suasana Hardiknas tahun ini, sangat perlu ditampilkan sosok guru teladan sejati, yang menampilkan perilaku konselornya, dalam memberikan semangat, memberikan perhatian, mendampingi psikis, dan inspirasi bagi peserta didiknya. Dialah guru yang konselor!
Implementasi Ilmu Konseling
Pengalaman nyata yang dialami seorang professor pendidikan di masa SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD). Setiap jam pelajaran anak tersebut tidak ada di ruang kelas, ternyata selalu membantu bapaknya di sawah. Sungguh kasihan anak itu. Guru mendatanginya dan membujuknya masuk sekolah, dengan pakaian apa adanya anak itu pun masuk kelas. Hari berikutnya demikian juga dan seterusnya. Guru dengan sabar mengajaknya masuk sekolah. Dengan kompetensi konseling yang dimiliki guru tersebut melakukan pembujukan ala konseling. Dan akhirnya anak itu mau bersekolah hingga tamat SR. Tidak berhenti sampai di sini, ternyata anak berlanjut meneruskan ke jenjang setingkat SMP, SMA, dan sampai ke perguruan tinggi, dan berhasil meraih gelar doctor di bidang pendidikan, dan sekarang menjadi guru besar Universitas ternama di Indonesia. Dalam orasi ilmiah pengukuhan sebagai professor, dia memula:
Saya menyebutnya guru di atas adalah guru kelas yang konselor. Guru yang memahami ilmu pendidikan dan mempraktekkan ilmu pendidikan dan konseling, sekaligus mengimplementasikan rambu-rambu dasar penyelenggaraan konseling di sekolah. Guru memiliki kompetensi paedagogik yang mantap. Tentunya juga memiliki kompetensi kepribadian, social, dan professional. Guru tidak sekedar mengajar tetapi membimbing, tidak sekedar menasehati tetapi memberikan teladan, tidak sekedar mendengar anak bicara tetapi memandangnya dengan mata teduh, tidak sekedar menyentuh bahu dengan kasih sayang tetapi menggunakan bahasa non-verbal dan high touch yang merasuk ke hati.
Implementasi Ilmu Konseling
Pengalaman nyata yang dialami seorang professor pendidikan di masa SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD). Setiap jam pelajaran anak tersebut tidak ada di ruang kelas, ternyata selalu membantu bapaknya di sawah. Sungguh kasihan anak itu. Guru mendatanginya dan membujuknya masuk sekolah, dengan pakaian apa adanya anak itu pun masuk kelas. Hari berikutnya demikian juga dan seterusnya. Guru dengan sabar mengajaknya masuk sekolah. Dengan kompetensi konseling yang dimiliki guru tersebut melakukan pembujukan ala konseling. Dan akhirnya anak itu mau bersekolah hingga tamat SR. Tidak berhenti sampai di sini, ternyata anak berlanjut meneruskan ke jenjang setingkat SMP, SMA, dan sampai ke perguruan tinggi, dan berhasil meraih gelar doctor di bidang pendidikan, dan sekarang menjadi guru besar Universitas ternama di Indonesia. Dalam orasi ilmiah pengukuhan sebagai professor, dia memula:
Saya menyebutnya guru di atas adalah guru kelas yang konselor. Guru yang memahami ilmu pendidikan dan mempraktekkan ilmu pendidikan dan konseling, sekaligus mengimplementasikan rambu-rambu dasar penyelenggaraan konseling di sekolah. Guru memiliki kompetensi paedagogik yang mantap. Tentunya juga memiliki kompetensi kepribadian, social, dan professional. Guru tidak sekedar mengajar tetapi membimbing, tidak sekedar menasehati tetapi memberikan teladan, tidak sekedar mendengar anak bicara tetapi memandangnya dengan mata teduh, tidak sekedar menyentuh bahu dengan kasih sayang tetapi menggunakan bahasa non-verbal dan high touch yang merasuk ke hati.
Masih Adakah Guru yang Konselor?
Guru kebanggaan adalah menjadi teladan dalam ucap dan sikap. Kompetensi paedagogik, kepribadian, social, dan professional harus dilengkapi dengan kompetensi psikologis di bidang pendidikan. Mengapa tidak? Professionalitas guru tidak hanya ditunjukkan dengan mampu mengajar 24 jam per minggu dengan hebat, menjadi penasehat yang disegani, atau membuat karya ilmiah yang hebat. Itu semua adalah bagian kecil. Masih banyak tantangan guru dalam melengkapi professionalitasnya. Masih adakah guru yang bisa menyambut kehadiran peserta didiknya di pintu gerbang dengan senyum dan pandangan teduh? Masih banyakkah guru yang rela berkorban untuk kepentingan peserta didiknya? Adakah guru yang rela menerima telepon/sms dari peserta didiknya di tengah malam? Adakah guru yang mampu memahami kondisi psikologis peserta didik? Dalam konsep dan rambu-rambu konseling, hal-hal di atas adalah kegiatan rutin dan sehari-hari yang harus dilakukan seorang konselor (baca: guru BK).
Sanksi pada Peserta Didik
Undang-undang Guru memberikan kesempatan pada guru untuk boleh memberikan sanksi pada peserta didik yang melakukan pelanggaran atau perilaku tidak normatif lainnya. Pemahaman terhadap sanksi, peserta didik harus menjalani apa yang menjadi keputusan guru atau sekolah terhadap pelanggaran yang dilakukan. Peserta didik dipersilahkan belajar di ruang kelas, karena terlambat masuk kelas, peserta didik menghafalkan butir-butir Pancasila, karena tidak mengerjakan tugas PKn dan seterusnya. Apakah kita meyakini bahwa mereka menjalani sanksi dengan sukarela dan ikhlas? Sanksi didesain itu menjadi seperti bukan sanksi, oleh karena sanksi tidak boleh diberikan oleh konselor. Dalam konseling dikenal ada dua belas asas, salah satunya asas kesukarelaan. Bagaimana peserta didik yang melanggar tersebut dipahamkan sedemikian rupa, melalui pendekatan psikologis, komunikasi verbal dan non-verbal, reflection of feeling dan seterusnya. Sehingga mereka menjalani sanksi itu dengan sukarela dan ikhlas. Oleh karena itu, jika terpaksa harus memberikan sanksi, lakukan sanksi yang tegas, edukatif, dan santun.
Harapan di Hardiknas 2014
Keteladan yang harus ditunjukkan oleh guru adalah mutlak, kepribadiannya tidak bisa terkikis, perilakunya tidak mungkin anarkis, kesabarannya tidak akan habis, dan selalu meningkatkan kompetensi psikologis. Kompetensi psikologis yang dimaksud adalah kondisi psikis yang mantap, tidak mudah marah, cerdas emosi-spiritual, dan memahami psikis peserta didik. Itulah guru yang konselor, mampu memenuhi empat kompetensi guru yaitu kompetensi paedagogik, kepribadian, social, dan professional, dilengkapi kompetensi psikologis.
Pesan Ki Hajar Dewantoro, “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, tidak hanya mempraktekkan “tut wuri handayani” saja tetapi juga mengimplementasikan “ing ngarso sung tuladha” dan “ing madya mangun karsa”. Dua contoh di atas, tentunya menjadi bahan renungan untuk berbuat baik lebih banyak, untuk melakukan lebih baik, untuk berkinerja lebih meningkat, menjadi teladan lebih mantap, demi martabat profesi kita, “GURU”.
--------- Budi Raharjo
(Pengawas SMA Kabupaten Tegal)
Belum ada Komentar untuk "Guru yang Konselor (Sebuah Renungan untuk Guru)"
Posting Komentar
Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.