Pendidikan Akhlak (Karakter) dalam Islam
Pendidikan Akhlak (Karakter) dalam Islam - Manusia dalam menjalankan tugas hidupnya dibekali Allah dengan dua hal yaitu: kebebasan dan hidayah. Dengan kebebasan, manusia memiliki dinamika dan daya adaptasi terhadap lingkungan serta daya kreativitas hidup sehingga kehidupan dan lingkungan hidupnya menjadi bervariasi. Manusia dapat membedakan antara antara nilai baik dan buruk, jalan hidup yang benar dan lurus dari dari sesat dan berliku-likudan sebagainya adalah karena adanya modal dasar yang sangat berharga yakni akal.
Menurut al-Ghazali, bahwa akhlak ibarat dari keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniyah. Kemudian beliau membagi induk akhlak dan pokok akhlak itu ada empat, yaitu: hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adil. Hal ini dijelaskan oleh Abdul Kholiq yang dikutip dari kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat mengetahuai kebenaran dari kesalahan semua perbuatan ikhtiyariyah (perbuatan yang dilakukan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Adil berarti keadaan dan kekuatan jiwa yang dapat menuntun dan mengendalikan amarah dan syahwat ke arah hikmah. Syaja’ah yaitu keadaan kekuatan amarah yang harus tunduk kepada akal. Sedang iffah adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan agama.
Ahmad Ali Riyadi menjelaskan, tingkah laku manusia tidak mudah untuk dipahami tanpa mengetahui apa yang mendorongnya melakukan perbuatan. Munculnya perbuatan manusia sangat dipengaruhi tidak hanya dari luar dirinya, tetapi di dalam diri manusia ada kekuatan yang menggerakkan sehingga seseorang tergerak mengerjakan sesuatu perbuatan tertentu. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia dalam psikologi disebut motif.
Eksistensi Akhlak
Peran motif pada hakikatnya yang harus difungsikan agar manusia bisa membedakan antara nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam eksistensi akhlak, al-Ghazali menjelaskan sebagaimana nasihat yang disampaikan terhadap murid tercintanya melalui kitab Ayyuh al-Walad yang meliputi:
- Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.
- Kedua, bertobat dengan tulus, dan tidak mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu.
- Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu.
- Keempat, mempelajari ilmu syariah, sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Juga pengetahuan tentang akhirat yang dengannya kau dapat selamat.
Empat hal yang dinasehatkan al-Ghazali berfungsi sebagai resep untuk meraih keutamaan diri dalam hidup, beliau memulai dengan keyakinan yang berfungsi sebagai sistem pengetahuan yang dihasilkan dari hati. Para teolog menyebutnya iman. Iman adalah satu kesadaran diri untuk menerima kebenaran-kebenaran dari Tuhan, baik yang bersifat rasional maupun yang bersifat suprarasional dan metafisik.
Keimanan yang benar akan memberikan kesediaan setiap diri untuk menerima dengan lapang dada segala titah Allah dalam menjalankan amanah-Nya. Dan keimanan harus mampu melahirkan rasa indah, bahagia, damai, dan tenang. Zuhairiansyah menjelaskan, bahwa moralitas seseorang dapat ditegakkan dengan syahadat Tauhid karena dengan mengucapkan syahadat, berati mengikrarkan derap langkah dalam pentas kehidupan sesuai dengan garis yang berlawanan dengan orang-orang musyrik dan musuh Allah. Secara rinci Zuhairiansyah menafsirkan konsep al-Ghazali sebagaimana berikut yang meliputi, teori Rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (kemanusiaan), Syumuliyah (Universal), al-Waqi’iyyah (Kontekstual).
Pada hakikatnya nasihat yang menyinggung tobat adalah agar manusia berusaha berbuat yang terbaik dalam menegakkan amal ma’ruf dan memerangi nahi mungkar. Sedangkan yang ketiga, dalam menempuh jalan keutamaan adalah memohon keridhaan ari semua orang (lawan dan musuh) sehingga tidak ada lagi beban yang ditanggung terhadap hak-hak orang lain. Nasihat ini sebagai antisipasi, karena manusia pasti pernah terpeleset berbuat dosa, dalam keadaan sadar atau lupa. Sedangkan yang keempat, adalah mempelajari ilmu dunia dengan tujuan untuk memperlancar perintah Allah, dan mempelajari ilmu akhirat yang dapat menyelamatkan diri dari siksa neraka. Dalam hal ini dapat dijelaskan ilmu apapun pada hakikatnya bersifat netral. Ia bisa mempunyai fungsi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia sejauh ia memilikinya mengorentasikan untuk kesejahteraan manusia. Sehingga dapat diamaknai bahwa Zuhairiansyah sepakat dengan teori yang diterapkan al-Ghazali, bahwa manusia hendaknya membangun kehidupan melalui akidah sebagai pengarahan kepada pembentukan moralitas Ilahi.
Dalam hal ini al-Ghazali menggambarkan, orang yang melaksanakan rukun Islam tanpa disertai dengan ketundukan kpada Allah, maka seolah-olah sama sekali tidak melaksanakannya meskipun amal perbuatannya banyak.
Pada kesimpulannya pendidikan dan akhlak (moral) tidak bisa dipisahkan, pendidikan disatu sisi merupakan sebuah upaya konsisten dari seseorang atau masyarakat menuju tercapai sebuah cita-cita yang paling agung. Di sisi lain, pendidikan itu sendiri adalah upaya mengarahkan seluruh gerak dan tingkah laku anak didik menuju kesempurnaan akhlak yang akan dijalaninya kelak menuju kematangan berpikir dan menganalisa kehidupan. Sekian, semoga dapat bermanfaat.
Emang akhlak baik itu lebih baik dibanding kan otak pintar. Tapi lebih baik lagi kalau akhlak baik dan otaknya pintar.
BalasHapusbetul betul betul... :D pendidikan memang hrs menghasilkan output-output yang tidak hanya memiliki otak pintar, tapi lebih indah kalau dibarengi dengan akhlak yg mantap.
Hapus