Belajar Membaca Alam Semesta (Bag. II)
Belajar Membaca Alam Semesta (Bag. II) - Menindaklanjuti tentang fenomena-fenomena alam yang ditunjukkan oleh QS. Ali Imran ayat 190-191 dengan QS. al-baqarah ayat 164 (baca: Belajar Membaca dan Memikirkan Alam Semesta Perspektif Al-Qur'an). Untuk memahami perbedaan susunan ayat dari di atas, perlu dilakukan pendekatan tanasub al-ayat masing-masing. Ayat 164 Al-Baqarah harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya (163) yang menjelaskan tentang keesaan Tuhan. Ini menunjukan bahwa banyaknya fenomena alam yang disebut dalam ayat 164 merupakan sebuah tuntunan khususnya bagi orang-orang yang baru mengenal Tuhan. Dan hal ini juga tampaknya diperkuat oleh ungkapan penutup dari ayat dimaksud (li qaumin ya'qilun), yang dapat diartikan sebagai "para pemikir pemula".
Akal manusia terdiri atas dua dimensi: dimensi luar yang disebut "akal" itu sendiri, dan dimensi dalam atau sarinya yang disebut "Lubb". Sedang pada Ali Imran 190, apabila dihubungkan dengan ayat sebelumnya (189) yang menjelaskan bahwa Allah adalah penguasa langit dan bumi, memang tampaknya tidak memerlukan lagi banyak makhluk atau fenomena alam sebagai tanda kekuasaan-Nya. Sebab, di sini kami kira manusia sudah tidak lagi tertuju kepada al-wujud allah --sebagaimana pada al-Baqarah ayat 164--, melainkan sudah diarahkan untuk memikirkan dan mengenal sifat-sifat-Nya. Ungkapan Allah sebagai penutup ayat 190 "li ulil albab" boleh jadi memperkuat pendapat itu, karena tingkat berpikir ulil albab dalam proses penemuan kebenaran dan meyakini adanya Allah, sudah berada satu atau dua tingkat di atas mereka yang masih berada pada "qaumun ya'qilun".
Akal manusia terdiri atas dua dimensi: dimensi luar yang disebut "akal" itu sendiri, dan dimensi dalam atau sarinya yang disebut "Lubb". Sedang pada Ali Imran 190, apabila dihubungkan dengan ayat sebelumnya (189) yang menjelaskan bahwa Allah adalah penguasa langit dan bumi, memang tampaknya tidak memerlukan lagi banyak makhluk atau fenomena alam sebagai tanda kekuasaan-Nya. Sebab, di sini kami kira manusia sudah tidak lagi tertuju kepada al-wujud allah --sebagaimana pada al-Baqarah ayat 164--, melainkan sudah diarahkan untuk memikirkan dan mengenal sifat-sifat-Nya. Ungkapan Allah sebagai penutup ayat 190 "li ulil albab" boleh jadi memperkuat pendapat itu, karena tingkat berpikir ulil albab dalam proses penemuan kebenaran dan meyakini adanya Allah, sudah berada satu atau dua tingkat di atas mereka yang masih berada pada "qaumun ya'qilun".
Tafsir Qur'an tentang Belajar
Di sisi lain, dalam terminologi qur'ani, potensi rohaniah yang berfungsi sebagai penemu kebenaran, ada tiga tingkatan. Tingkat pertama, yang paling rendah dan sederhana adalah "al-Qalb", yang diterjemahkan dengan hati. Dinamai demikian karena temperaturnya sering tidak bisa stabil (litaqallubihi) bahkan dalam al-Quran disebutkan banyak hati yang sama sekali tidak berfungsi (lahum qulubun la yafqohuna biha). Tingkat kedua, ialah "al-Lubb" yang secara leksikal berarti saripati, sesuatu yang paling bersih, paling halus, dan paling sempurna. Bentuk plural (jamak) dari al-Lubb adalah al-Albaba. Untuk memahami tafsir dari kata dimaksud, kita berkonsultasi dengan al-Qur'an. Ternyata, di dalam al-Quran, kata ulul albab terulang sebanyak 16 kali pada berbagai tempat, dan dari jumlah itu sebagaian besar terkait dengan ungkapan hikmah dan pelajaran ()yadzakaru, yatatadzakaru, dzikra, 'ibaratan, dan hayatan). Dari sini dapat dipahami bahwa ulil albab adalah orang-orang yang dapat menangkap dan menggali makna yang jauh tersembunyi di balik segala sesuatu yang konkret. Hanya orang-orang yang sanggup memaksimalkan potensi akalnya saja yang dapat melakukan pekerjaan tersebut. Rupanya, dari sini pula maka ulul albab sering diterjemahkan dengan "orang-orang yang berakal sempurna".
Tingkat ketiga, merupakan akal tingkat paling tinggi, adalah al-Fu'ad. Dalam al-Quran, al-Fu'ad ditemukan terulang sebanyak 5 kali, yang kesemuanya menuju pada pengertian "nurani" yang berasal dari Allah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
"Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa"
(QS. al-Qasas: 10)
(QS. al-Qasas: 10)
Sebelum ayat ini, yakni pada ayat ke tujuh Allah memberi perintah kepada ibu Musa agar menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
"Berkata orang-orang kafir: Mengapa al-Quran tidak diturunkan
kepada Muhammad secara sekaligus? (al-Quran tidak
diturunkan sekaligus) untuk
Kami kuatkan hatimu
(Muhammad)..."
(QS. al-Furqan: 32)
kepada Muhammad secara sekaligus? (al-Quran tidak
diturunkan sekaligus) untuk
Kami kuatkan hatimu
(Muhammad)..."
(QS. al-Furqan: 32)
"Tidak akan bohong apa yang ia (Muhammad) lihat".
(QS. al-Najm: 11)
(QS. al-Najm: 11)
Dari ketiga ayat di atas dapat dipahami bahwa al-Fuad adalah hati nurani yang dimiliki oleh orang-orang suci yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah SWT.
Ayat ini merupakan penjelasan pertama dari siapakah mereka Ulul Albab? Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam tiga kondisi (hal); berdiri, duduk, dan berbaring. Oleh karena hidup manusia tidak lepas dari ketiga kondisi itu, maka yang dimaksud dengan ayat itu adalah selalu mengingat Allah. Dzikir kepada Allah, dalam isyarat qur'ani tidak sekedar mengingat-Nya yang terbatas pada bekerjanya sens of memory yang ada di otak, melainkan adalah konsep integral antara seluruh potensi ruhaniah. Dimulai dari bekerjanya sens of memory yang mencari dan menghubungkannya dengan konsepsi tentang Allah, lalu kemudian diserap dan diserapkan oleh al-Qalb, al-Lubb, atau al-Fu'ad, sampai kepada lahirnya pemancaran atau pemantulan kepada seluruh aspek gerak manusia. Dari ketiga alat yang sekaligus merupakan potensi tadi, akan memancarkan nur ilahiyah keseluruh anggota badan. Ke lidah akan membentuk gerak bacaan-bacaan tasbih, tahmid, dan tahlil. Ke sel-sel saraf akan melahirkan pikiran-pikiran dan pemikiran-pemikiran yang benar yang secara harmonis akan membentuk gerak dan perilaku instrumental dalam dzikir kepada Allah.
Al-Imam al-Fakhr al-Razi, seorang mufassir besar dari kalangan ahlussunnah, menyatakan bahwa klausa "alladzina yadzkuru nallaha" sebagai isyarat kepada ubudiyat al-lisan; klausa "qiyaman wa qu'udan wa 'ala junubihim" isyarat kepada ubudiyat al-jawarih (ritualitasnya fisik), dan klausa "yatafakkaruna fi kholqis samaawati wal arldh", isyarat pada ubudiyat al-fikr (ritualitasnya pikiran). Menurutnya, ayat 190 menunjukkan kepada "kamal al-rububiyat", sedangkan ayat 191 menunjukkan kepada "kamal al-ubudiyat.
Demikianlah uraian singkat mengenai Belajar Membaca Alam Semesta. Semoga dapat bermanfaat.
Demikianlah uraian singkat mengenai Belajar Membaca Alam Semesta. Semoga dapat bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "Belajar Membaca Alam Semesta (Bag. II)"
Posting Komentar
Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.