Wajah Kriminalisasi Sistem Pendidikan
Wajah Kriminalisasi Sistem Pendidikan - Akhir-akhir ini dunia pendidikan marak terdengar demonstrasi dan gugatan terkait pengangkatan CPNS melalui K2. Entah alasan adanya manipulasi data, praktek KKN, dan sebagainya walaupun kenyataan dan bukti yang ada menunjukkan hal demikian. Akan tetapi, jauh sebelum berita heboh itu mencuat, tersimpan sebuah fakta yang menunjukkan betapa mahal untuk menyandang status seorang “guru” di sekolah sekalipun sebagai guru wiyata/honorer. Bukan hanya tuntutan ijazah yang menjadi prasyarat seseorang untuk mengabdi, sebagian besar sekolah menentukan “tarif” bagi guru ataupun lulusan keguruan yang ingin menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Kisaran tarif dari 2 hingga 5 juta rupiah, sedangkan selama menjadi tenaga pengajar imbalan mereka tak sebanding dengan modal awal dan memenuhi keseharian mereka. Bahkan sebagian sekolah ada yang mensyaratkan jika tak mampu membayar sejumlah uang pada awal mengarya, persyaratan dilihat dari status social mereka. Apakah anak pejabat/tokoh penting masyarakat atau bukan. Seorang anak guru sekalipun, mereka masih kalah saing jika dihadapkan pada perbandingan pilihan dengan anak komite maupun anak pak lurah, sekalipun ijazah mereka dan kinerja mereka memenuhi syarat. Hanya sebuah keberuntungan dan kesempatan bagi mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pimpinan sekolah, namun hal ini jelas menunjukkan praktek nepotisme dimana satu sekolahan seolah menjadi milik pribadi pihak tertentu.
Kenyataan ini sungguh sangat ironi, sekolah kini menjadi mafia di dunia pendidikan. Bahkan tidak jauh beda dengan tindak kriminalisasi, hanya berbeda cara dan gaya yang dikemas dengan begitu apiknya. Cita-cita yang begitu mulia benar-benar membutuhkan pengorbanan yang tak sedikit. Walaupun segala sesuatu yang berdasar niat ibadah dan benar-benar tulus dari dalam hati tidak akan mengharap imbalan. Karena setiap orang telah ditentukan rizkinya dan tidak akan tertukar satu sama lain. Akan tetapi, adakah hal ini dibiarkan begitu saja. Apalagi ketika sekolah mencari-cari segala cara untuk menambah pundi-pundi anggaran mereka dengan cara yang kurang baik, misalnya mendenda guru PNS maupun wiyata yang datang terlambat hingga 150 ribu rupiah, mencari-cari kesalahan untuk dijadikan alasan seorang guru membayar sejumlah uang untuk kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan. Keadaan ini akan membuat guru lebih memilih bolos kerja dengan berbagai alasan. Baik alasan sakit, ta’ziyah, maupun ada acara keluarga. Iklim kerja seperti ini bisa dipastikan akan menurunkan motivasi kerja guru. Bagaimana guru akan bisa bekerja dengan optimal jika lingkungan kerjanya saja membuat mereka merasa tidak aman, tekanan batin, diliputi rasa takut dan kecemasan melakukan kesalahan dalam bertindak apalagi guru-guru yang harus menempuh jarak hingga puluhan kilometre yang membutuhkan konsentrasi penuh di perjalanan. Bahkan ketidakpercayaan antar sesame guru maupun atasan semakin mengacaukan kerja sistem ketika banyak informasi yang disembunyikan. Antara lain informasi pengangkatan CPNS, pelaksanaan diklat prajabatan, pendataan, informasi kenaikan pangkat, informasi PLPG/UKA maupun subsidi belajar yang sering disembunyikan informasinya. Bahkan keberadaan BOS seharusnya untuk menunjang jalannya proses pembelajaran digunakan tidak sesuai dengan semestinya. Transparansi laporan hanya berbentuk uang yang dibagi secara percuma akan tetapi ada penarikan di luar kehendak guru dan hak yang tidak diberikan secara semestinya.
Penanaman kedisiplinan memang penting, tapi sebuah aturan tentu tidak bisa disamakan sesuai dengan situasi kondisi. Adakah mereka di hokum ketika jarak rumah memang jauh yang memakan waktu, tenaga, pikiran, dan konsentrasi di perjalanan. Adakah sama aturan bagi seseorang yang tinggal melangkah beberapa meter dengan seseorang yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dengan berbagai resiko di perjalanannya. Arogansi disiplin ini justru merambah pada seorang guru yang merasa mampu berangkat pagi bahkan paling awal dibanding guru lain melebihi wewenang pimpinan. Sehingga mereka merasa paling disiplin, paling professional, paling berhak mendapat pujian dan berhak membuat peraturan yang bukan wewenangnya. Belum lagi istilah “sekolah gratis” di Sekolah Dasar (SD) hanya meringankan pada biaya SPP yang dihitung hanya mengurangi kurang lebih 60 ribu rupiah, tetapi penarikan untuk biaya lain diwajibkan. Seperti diharuskan membeli buku taktis, LKS, dan sebagainya dengan harga lebih. Sedangkan dari pihak pemerintah sudah menyediakan berbagai anggaran untuk sekolah tidak hanya untuk operasional saja tetapi sudah menanggung biaya buku dan BOS pendamping lainnya. Belum lagi “pendidikan gratis” tidak dirasakan bagi mereka yang bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI), selain beban pelajaran yang banyak mereka juga harus membayar SPP, uang gotong royong (drumband, dan ekskul lain), buku/LKS, biaya les tambahan pada guru mereka sendiri dan biaya snack untuk guru dan sebagainya.
Inikah pendidikan Indonesia sekarang? Ketika pendidikan dijadikan ladang bisnis maupun ladang subur tumbuhnya korupsi. Ketika siswa saja didiskriminasikan dari latar belakang sosial ekonomi, dan ketika seorang lulusan keguruan saja sulit mengabdikan diri sebagai guru sekalipun menjadi tenaga wiyata/honorer. Lalu apa fungsi lembaga pendidikan yang melahirkan ratusan bahkan ribuan sarjana pendidikan setiap tahunnya? Apa guna ijazah dan akta mengajar? Akankah hanya dijadikan sertifikat yang terpasang di dinding dengan bingkai indah, jika pada akhirnya ijazah itu sendiri tak mampu membuka kesempatan bagi mereka untuk mulai meniti karir di dunia pendidikan sebagai seorang guru? Meski dapat dipahami kebijakan pemerintah dalam pengadaan guru negeri di sekolah tentu untuk mengurangi beban anggaran sekolah. Semakin banyak guru negeri (baca: PNS), anggaran sekolah tentu lebih diringankan karena gaji bulanan sudah menjadi tanggungan pemerintah dan tak perlu alokasi banyak untuk wiyata. Hanya saja, perlu kesadaran dan upaya dalam diri guru (terutama guru PNS) untuk dapat meningkatkan lagi kinerja mereka.
Namun, sering kali dijumpai guru-guru wiyata yang justru tidak bersyukur dengan izin mengajar diberikan sekolah dan menjadi sesuka hati mengatur-ngatur sekolah bahkan yang berkaitan dengan gaji pribadi PNS. Mereka lebih gampang mencaci maki kinerja PNS dan melihat secara keduniawian milik PNS. Laksana lebah, akan datang hanya untuk menghisap sari madu. Bahkan tak jauh bada dengan pepatah “ada uang, anda ku sayang. Tak ada uang, senyum ku buang”. Kualitas pembelajaran di sekolah, tentu tidak hanya dipengaruhi kinerja satu dua orang saja, akan tetapi adanya kerjasama semua pihak dalam lingkup pendidikan di sekolah. Kerjasama professional ini akan terwujud selagi tidak ada kecemburuan sosial, saling pengertian, dan adanya kejujuran antar anggota warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah. Namun, akan terasa sulit jika yang terjadi hanya disharmonisasi bahkan saling menjatuhkan di belakang.
Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi pembaca "Membumikan Pendidikan" yang budiman. Semoga pendidikan di negeri ini semakin berkualitas.
--------- Nur Azizah, A.Ma
(Guru Sekolah Dasar (SD) Lebakwangi 02 Kecamatan Jatinegara)
sistem pendidikan di indonesia memang sulit dikendalikan mas, karena sudah menjamur budaya tersebut ;)
BalasHapusSepakat mba Eka, sangat dan sangat sulit.., :) Tapi mudah-mudah masih ada walaupun cuma segelintir, orang2 yg jujur di negeri ini. amin... Makasih mba sebelumnya.
Hapus