Senin, Maret 04, 2019

Hakikat Guru Merdeka Menurut Jejen Musfah

Indoneisa telah merdeka selama 73 tahun, tetapi guru Indonesia belum merdeka. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan merdeka sebagai berikut: bebas dari penghambaan, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Dari definisi ini, guru kita belum merdeka seutuhnya.

Hakikat guru merdeka adalah ketika mereka dimuliakan, disejahterakan, dikembangkan, dibebaskan berpikir, dan dimudahkan dalam menjalankan profesinya. Merujuk definisi ini, guru merdeka masih jauh panggang dari api. Padahal, hanya guru merdeka yang mampu menjalankan tugas mencerdaskan generasi muda Indonesia sesuai bakatnya masing-masing.

Hakikat Guru Merdeka Menurut Jejen Musfah

Membiarkan guru tidak merdeka, cita-cita pembangunan generasi emas Indonesia 2045 hanya isapan jempol belaka. Menggantang asap, ibarat pungguk merindukan bulan. Bangsa yang merdeka sepatutnya menempatkan guru sebagai profesi mulia, terhormat, dan merdeka.
  • Merdeka FInansial
Guru dikatakan merdeka manakala dalam menjalankan profesinya memiliki cirri-ciri sebagai berikut: Pertama, guru sejahtera sebagaimana dinyatakan dalam Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 serta UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Sebagai profesi, setiap guru terjamin kebutuhan hidup keluarganya. Seorang tidak layak bekerja sambilan, apalagi menjadikan mengajar sebagai pekerjaan sampingan.

Baru sebagian kecil guru Indonesia sejahtera yaitu guru PNS, bersertifikat dan bersekolah pavorit. Guru honorer dan belum tersertifikasi terpaksa harus mengajar di dua sekolah atau lebih, atau bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Guru merdeka secara financial seharusnya menjadi cita-cita setiap pemimpin negeri ini. Jika tidak, adagium “kunci kemajuan bangsa adalah pendidikan, dan kualitas guru adalah kunci kemajuan pendidikan suatu bangsa”, hanyalah jargon kosong. Guru harus dicukupkan materinya, baru ia akan bisa mengajar dengan baik.

Alih-alih mengangkat guru honorer menjadi PNS atau guru tetap non-PNS, pemerintah kerap menyindir kinerja dan kompetensi guru. Contoh, berulang kali tunjangan profesi guru (TPG) disindir Menkeu Sri Mulyani, bahwa sertifikasi guru tidak berdampak pada peningkatan kompetensi guru.
Solusi masalah rendahnya kompetensi guru bukan dengan menebar wacana penghapusan TPG, tetapi bagaimana pemerataan pelatihan peningkatan kompetensi guru bersertifikat dan non sergur. Perbaikan perekrutan calon guru adalah hal lainnya. Input guru harus diperhatikan bahkan sejak perekrutan mahasiswa fakultas keguruan.

Dalam buku School Human Capital and Teacher Salary Policies (2016), menyimpulkan hasil riset bahwa “prestasi siswa dan produktivitas sekolah di AS sangat tergantung pada besaran gaji guru”. Sedangkan dalam redaksi Freedomis Teacher (2011: 242), mengutip pengalaman Septima Clark mengajar di Colombia pada 1930-an:
Not only was I teaching a full schedule and attending teacher training courses and going to civic club meetings of one short and another, but I was also going to bridge parties and taking part in other social activities. I was being accepted.
Guru kita jelas tidak seperti digambarkan Clark tersebut. Guru kita sibuk di sekolah, dan tidak bisa membeli kebahagiaan untuk diri dan keluarganya. Hasil keringatnya hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anak. Tidak ada uang untuk memanjakan diri di salon, mall, restoran, membeli buku, atau berlangganan internet.
  • Merdeka Belajar
Kedua, guru punya kesempatan mengembangkan diri, seperti seminar, lokakarya, dan melanjutkan study. Beban kerja guru 40 jam di sekolah per minggu menyulitkan guru belajar di dalam dan di luar sekolah. Masih banyak sekolah tidak memiliki sumber belajar yang memadai. Perpustakaan, internet, laboratorium, dan meja kerja guru tidak tersedia. Baca selengkapnya tentang Filosofi Merdeka Belajar dalam Perspektif Pendiri Bangsa

Guru ibarat katak dalam tempurung. Kehidupannya adalah siklus rutinitas rumah, sekolah, dan rumah. Sebagian mereka jarang bahkan tidak pernah ikut pelatihan. Mereka yang melanjutkan study S2 atau S3 sulit mendapatkan ijin atasan, atau kurang mendapat dukungan kepala sekolah. Contoh, penjadwalan dan tugas mereka yang bersamaan dengan jadwal kuliah.

Guru juga tidak bebas mengembangkan diri di luar sekolah karena ia harus hadir di sekolah sehari penuh (full day school). Ia terbelenggu syarat regulasi sertifikasi guru, beban kerja, dan otoritarianisme kepala sekolah atau yayasan. Penugasan guru keluar sekolah sering tidak objektif dan dimonopoli kepala sekolah atau guru-guru tertentu saja.

Kecuali itu, guru kerap disibukan pekerjaan administratif syarat pencairan TPG, kenaikan pangkat, dan pengajaran K13. Malangnya, pekerjaan ini kerap dikerjakan kolektif oleh satu orang guru yang merangkap operator sekolah. Alasannya, guru gagap teknologi alias tidak bisa computer. Padahal, penting bagi guru belajar dan mengembangkan keilmuan melalui organisasi profesi, KKG, MGMP, dsb.
  • Merdeka Berpolitik
Ketiga, guru bebas menentukan pilihannya dalam pilkada. Masalahnya, guru dibeberapa daerah sering secara terbuka mendukung pasangan calon tertentu. Padahal, guru PNS dan non-PNS harus independen dan netral. Ia tidak boleh menjadi timses paslon bupati, walikota, gubernur tertentu karena bertentangan dengan marwah dan etika guru.

Ketika guru sudah berpihak, melakukan kampanye (terselubung/terang-terangan), dan menjadi timses paslon tertentu, maka ia sudah tidak merdeka-terbelunggu politik kepentingan sesaat. Sejatinya guru harus berdiri untuk semua golongan. Mereka mitra pemerintah, siapapun presiden dan kepala daerahnya.

Ketika guru sudah terlibat politik praktis dalam bentuk dukungan terhadap salah satu paslon kepala daerah, dia dan guru yang netralpun akan menanggung tulahnya. Tidak heran, guru dan kepsek sering menjadi korban kebijakan kepala daerah baru. Tiba-tiba mereka dimutasi tanpa alasan yang jelas dan digantikan oleh “guru timses” kepala daerah terpilih.

Guru rentan dimanfaatkan dalam pilkada untuk mendulang suara. Guru potensial menaikan electoral paslon tertentu. Meski demikian, guru atau organisasi guru sebaiknya ajek. Mereka menolak dimanfaatkan politisi atau memanfaatkan organisasi untuk kepentingan politik praktis. Guru harus merdeka sejak dalam pikiran, termasuk soal pilkada.

Pemerintah harus menjamin guru merdeka secara financial, merdeka untuk belajar, dan merdeka berpolitik. Tugas guru tidak ringan. Di tangan guru, generasi muda dititipkan. Guru yang merdeka bisa melahirkan calon pemimpin yang visioner, dan warganegara yang beradab.

Dua hal yang selalu kita rindukan saat mana bicara Negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan Korsel. Kemajuan bangsa yang dicirikan antara lain kreativitas dan kesantunan warga, hanya bisa diraih melalui pendidikan yang bermutu. Pendidikan bermutu karena guru berkualitas. Tidak diragukan lagi. Jika pemerintah memerdekakan guru, bangsa Indonesia yakin pasti maju.

Belum ada Komentar untuk "Hakikat Guru Merdeka Menurut Jejen Musfah"

Posting Komentar

Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.

Advertisemen