Dzikir Sebagai Salah Satu Pendidikan Hati
Dzikir Sebagai Salah Satu Pendidikan Hati - Zikir bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Ahzâb ayat 41, “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”; Ali bin Thalhah menerima ajaran dari Ibnu Abbas tentang maksud dari ayat ini, bahwa Allah bila menurunkan suatu yang wajib kepada hamba-Nya selalu ada batas waktunya, dan diberi kelapangan seketika ada uzur yang menimpa. Tetapi zikir tidak ada uzurnya. Zikir itu tidak diberi batas waktu. Tidak diberi uzur seseorang buat meninggalkan zikir.[1]
Zikir yang dilakukan dengan terus-menerus akan menjadi sikap batin. Firman Allah dalam Q.S. Âli-Imrân ayat 191: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dzikir Menurut Ahli
Hamka menjelaskan bahwa tanamkanlah dalam hati sendiri cinta kepada-Nya dengan lebih dulu menyebut nama yang mulia itu, mudahmudahan mulut mendidik hati, yang dinamai orang “sugesti”, mempengaruhi batin sendiri. Itulah yang disebut “zikir”.[2] Zikir bukan sekedar aktifitas mengingat nama Allah, tapi harus dilanjutkan dengan memikirkan keagungan setiap ciptaan-Nya yang tersebar di bumi dan di langit. Memang, pada mulanya zikir itu diucapkan lewat mulut, tapi lama-kelamaan ia akan menjadi sikap batin. Artinya, batin itu akan selalu berhubungan dengan Tuhan, di mana pun dan kapan pun.
Menurut M. Arifin Ilham, hal utama yang harus dilakukan manusia adalah mensucikan hati dan jiwa (tazkiyatun nafs). Sarana dalam tazkiyatun nafs ini adalah zikir kepada Allah. Seseorang memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menjalani kehidupan spiritual (ruhani). Untuk mencapai sesuatu tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui proses tahap demi tahap. Arifin menyebutkan lima tahap. Pertama, mendidik aspek lahir dengan ketaatan, kebaikan, dan hal-hal positif. Kedua, taubat. Ketiga, mengendalikan batin dari ego dan nafsu rendah. Keempat, menjalankan prinsip-prinsip kehidupan Islam. Seperti ikhlas, istiqamah, syukur, sabar, tawakkal, dermawan, penyayang, jujur, amanah, zuhud dan tauhid. Kelima, tahap dimana hati dan fitrah telah menjadi suci dan bersih.[3]
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa psikoterapi islami hendaknya selalu membawa klien untuk ingat kepada Allah, dalam keadaan bagaimana pun ia selalu ingat kepada-Nya. Bila ia mengalami kesusahan, sifat Allah yang teringat olehnya adalah Allah Maha Penolong, Maha Penyayang dan Mahakuasa. Bila ia mendapat rahmat dan kesenangan, hatinya bersyukur kepada Allah dan lisannya mengucapkan hamdallah. Dia tidak akan congkak dan keluar dari yang dilarang Allah.[4]
Dalam mengingat Allah Swt.. itu hendaknya manusia merasa rendah dan lemah, tidak sombong, di hadapan-Nya. Firman Allah QS Al-Hadîd ayat 16 “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”, Kamal Muhammad Isa mengatakan bahwa insan yang saleh adalah insan yang beriman, memiliki akidah, dan hatinya tidak pernah lalai dari mengingat Tuhannya.[5]
Ary Ginanjar menyebutnya dengan manusia digital. Manusia digital adalah manusia yang hanya mengenal angka nol dan satu dalam berprinsip hidup. Angka nol adalah lambang kesucian hati dan pikiran, sedangkan angka satu adalah lambang Tuhan, atau hanya berprinsip kepada Dia Yang Maha Esa. Dengan kata lain: lâ (0) ilâha illallâh (1).[6] Iman itu harus dibuktikan dengan hati yang selalu tertuju kepada Allah, sekaligus menyadari kekuasaan dan kebesaran-Nya, dan menganggap diri sangat membutuhkan pertolongan dan kasih-sayang-Nya. Zikir juga mampu menjadi penyelamat manusia dari rayuan setan, seperti tersebut dalam QS Al-A‟râf ayat 201: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”.
Wahid Abdussalam Bali menulis bahwa setan tidak akan masuk kecuali pada orang yang hatinya kosong dari zikir, ketakwaan, keikhlasan dan keyakinan. Pada orang yang demikian, ketika setan memasukkan bisikkannya, ia mendapatkan tempat yang kosong, sehingga bisikannya itu tetap tinggal di dalamnya, demikian sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair: Aku didatangi oleh nafsunya, Lalu membentur hati yang kosong sehingga tetap tinggal.[7]
Setiap manusia akan digoda setan. Orang yang selalu berzikir, ketika datang bisikan setan kepadanya, akan segera mengingat Tuhannya-karena memang demikianlah kebiasaanya, sehingga ia menolaknya. Tapi orang yang jarang berzikir, akan tidak mudah mengingat Tuhannya pada saat setan membujuknya. M. Utsman Najati menjelaskan bahwa pengulangan mengingat Allah akan membentuk suatu kebiasaan pada seseorang berzikir dan bertasbih kepada-Nya. Sekiranya kebiasaan ini menjadi tetap dan stabil dalam perilakunya, maka Allah akan selalu hadir dalam kalbu mereka dan dalam setiap saat dari denyut-denyut kehidupannya, dan semua itu keluar darinya tanpa usaha keras serta sulit.[8]
Ketiga metode pendidikan hati (baca juga; Memahami al-Quran; Memikirkan Alam; dan Dzikir) yang telah membumikan pendidikan share hendaknya harus selalu dijalankan oleh manusia. Dengan demikian insya Allah manusia akan mampu menjalankan fungsi mata, telinga dan hatinya dengan baik, seperti firman Allah dalam QS Al-Nahl ayat 78, Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. Manusia sering berbuat salah karena sering lupa akibat atau balasan yang akan menimpanya di kehidupan setelah mati.
Reff:
[1] Hamka, Al-Azhar, Jilid 8, h. 5740
[2] Hamka, Lembaga Hidup, h. 129.
[3] M. Arifin Ilham, Hakikat Zikir, h. 19-20.
[4] Zakiah Daradjat, Psikoterapi Islami, h. 139
[5] Kamal Muhammad Isa, Manajemen Pendidikan Islam, h. 46.
[6] Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h., xxvi.
[7] Wahid Abdussalam Bali, Strategi Setan Merusak Hati Manusia, h. 17
[8] M. Utsman Najati, Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Quran, h. 236
Reff:
[1] Hamka, Al-Azhar, Jilid 8, h. 5740
[2] Hamka, Lembaga Hidup, h. 129.
[3] M. Arifin Ilham, Hakikat Zikir, h. 19-20.
[4] Zakiah Daradjat, Psikoterapi Islami, h. 139
[5] Kamal Muhammad Isa, Manajemen Pendidikan Islam, h. 46.
[6] Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h., xxvi.
[7] Wahid Abdussalam Bali, Strategi Setan Merusak Hati Manusia, h. 17
[8] M. Utsman Najati, Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Quran, h. 236
Belum ada Komentar untuk "Dzikir Sebagai Salah Satu Pendidikan Hati"
Posting Komentar
Komentar yang mengandung sara, pornografi, tidak sesuai dengan pembahasan, memasukan link aktif, dan bersifat merugikan orang lain akan dihapus. Terima kasih.